Kamis, 16 Juli 2009

Hubungan Antara Ekosistem Lamun, Mangrove dan Terumbu Karang

Ekosistem mangrove, terumbu karang, dan lamun mempunyai keterkaitan ekologis (hubungan fungsional), baik dalam nutrisi terlarut, sifat fisik air, partikel organik, maupun migrasi satwa, dan dampak kegitan manusia. Oleh karena itu apabila salah satu ekosistem tersebut terganggu, maka ekosistem yang lain juga ikut terganggu. Yang jelas interaksi yang harmonis antara ketiga ekosistem ini harus dipertahankan agar tercipta sebentuk sinergi keseimbangan lingkungan.

1. Sifat fisik air
Hutan mangrove sejati biasanya tumbuh di daerah yang terlindung dari pengaruh ombak dan arus yang kuat. Terumbu karang dan lamun disini berfungsi sebagai penahan ombak dan arus yang kuat untuk memperlambat pergerakannya. Ini merupakan salah satu interaksi fisik dari terumbu karang dan lamun terhadap mangrove sehingga mangrove terlindungi dari ombak dan arus yang kuat.

Hutan mangrove kaya akan sedimen yang mengendap di dasar perairan. Apabila sedimen ini masuk ke ekosistem lamun maupun terumbu karang dengan jumlah yang sangat banyak dan terus menerus oleh pengaruh hujan lebat, penebangan hutan mangrove maupun pasang surut dapat mengeruhkan perairan, maka ini akan mempengaruhi fotosintesis dari lamun dan zooxanthela yang hidup pada karang. Sedimen yang membuat perairan keruh akan berdampak pada berkurangnya penetrasi cahaya matahari (kecerahan). Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang. Dan ini akan mempengaruhi persebaran dan kelimpahan lamun serta terumbu karang secara vertikal dan horizontal.

Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang sangat produktif dengan produktivitas primernya yang sangat tinggi daripada ekosistem lainnya di perairan. Hutan mangrove mempunyai fungsi ekologis yang sangat penting yaitu sebagai salah satu penyerap karbondioksida di udara. Peningkatan kandungan karbondioksida di udara dapat menyebabkan dampak pemanasan global. Jika terjadi pemanasan global oleh penebangan hutan mangrove besar-besaran maka ini akan berpengaruh terhadap ekosistem terumbu karang dan lamun. Misalnya zooxanthela pada terumbu karang akan keluar dari karang akibat meningkatnya suhu perairan. Karang yang membutuhkan zooxanthela dalam memproduksi zat-zat penting bagi pertumbuhannya akan mati sehingga terjadi pemutihan karang. Terumbu karang hidup bisanya pada suhu antara 25-290C.

2. Partikel Organik
Partikel organik yang berasal dari serasah lamun dan mangrove dapat mempengaruhi pertumbuhan dari terumbu karang. Tingginya partikel organik yang tersuspensi diperairan dapat menurunkan fotosintesis dari lamun dan zooxanthela di perairan. Partikel organik ini akan mengurangi intensitas cahaya matahari yang dibutuhkan lamun dan zooxanthella untuk proses fotosintesis. Selain itu partikel organik yang terbawa dari ekosistem mangrove ke ekosistem lamun dan terumbu karang merupakan makanan bagi biota-biota perairan seperti filter feeder dan detritus feeder. Khusunya ekosistem mangrove, arus dan gelombang disekitarnya cukup kuat sehingga berfungsi mencernihkan perairan. Sedangkan ekosistem lamun yang berdekatan dengan ekosistem mangrove yang kaya sedimen, mempunyai rhizoma yang saling menyilang untuk menahan substrat dasar.

Penebangan hutan, pembukaan jalan, pembukaan lahan pertanian dapat meningkatkan partikel organik diperiaran. Partikel yang tersuspensi terutama dalam bentuk partikel halus maupun kasar, akan menimbulkan dampak negatif terhadap biota perairan pesisir dan lautan. Misalnya partikel tersebut menutupi sistem pernafasan yang mengakibatkan biota tersebut susah bernafas.

3. Nutrien Terlarut
Nutrien diperiaran penting bagi produsen primer untuk proses fotosintesis. Nutrien di perairan dapat berasal dari batuan-batuan maupun serasah tumbuhan dan organisme-organisme yang mati, dan kemudian didekomposisi oleh bakteri menjadi zat anorganik yang diserap oleh produsen primer. Mangrove kaya akan nutrien yang biasanya terbawa ke ekosistem lamun dan terumbu karang melalui aliran sungai maupun efek pasang surut. Nutrien ini diserap langsung oleh lamun melalui perakarannya, dan zooxanthella memperoleh nutrien tersebut juga.

Batuan-batuan karang yang pecah juga merupakan nutrien yang dibutuhkan bagi organisme yang ada disekitar mangrove yang bisanya membentuk cangkang. Nutrien ini juga bisanya dibawa oleh arus dan ombak untuk diserap oleh lamun.

4. Migrasi Fauna
Migrasi fauna dapat disebabkan oleh meningkatnya predator pada suatu ekosistem, berkurangnya makanan, reproduksi, meningkatnya persaingan dalam memperbutkan makanan, tempat persembunyian yang aman, dll. Ketika ekosistem mangrove dalam keadaan rusak atau terganggu oleh aktivitas manusia maupun oleh pengaruh alam, maka biota-biota/fauna yang hidupnya disekitar mangrove akan beralih tempat ke ekositem lamun maupun terumbu karang untuk memperoleh perlindungan.

Apabila dalam ekosistem lamun, terjadi persaingan yang ketat dalam memperbutkan makanan, maka fauna-fauna disekitarnya akan bermigrasi ke darerah mangrove untuk memperoleh makanan yang banyak. Ketika terjadi kekeruhan di ekosistem lamun oleh pengaruh sedimentasi, maka fauna-fauna yang hidup disekitarnya khususnya ikan akan menghindari daerah tersebut dan menempati ekosistem terumbu karang yang tidak kecerahan lebih baik.

5. Dampak Manusia
Penebangan hutan mangrove untuk pemukiman, pebukaan lahan pertanian dan pertambakan dapat mengakibatkan erosi sehingga mengeruhkan perairan. Pengaruhnya ini akan berdampak pada ekosistem lamun dan terumbu karang yang ada disekitarnya. Proses fotosintesis akan yang berjalan akan terhambat. Selain pemanfaatan mangrove yang merusak lingkungan, pemanfaatan lamun dengan cara yang sama akan menyebabkan sedimentasi, mengingat bahwa lamun mempunyai rhizoma yang saling mentilang yang berfungsi untuk mengikat sedimen di dasar

Pengambilan terumbu karang sebagai bahan bangunan akan mengancam ekosistem mangrove. Mengingat bahwa secara ekologis terumbu karang berfungsi untuk menahan gelombang dan arus yang kuat, sehingga tanpa keberadaannya akan mengamcam ekosistem mangrove yang biasanya terlindung dari ombak dan arus yang kuat.Ikan di daerah terumbu karang yang memakan suatu spesies ikan di sekitar daerah lamun lama kelamaan akan habis apabila terus menerus dieksploitasi secara besar-besaran oleh manusia. Ikan di daerah terumbu karang berkurang jumlahnya sedangkan ikan di daerah lamun meningkat jumlahnya.

Dari pembahasan diatas kita dapat melihat bahwa dampak manusia dan alam akan mempengaruhi ketiga ekosistem ini. Ketiga ekosistem ini saling terkait satu sama lain dan biasanya ke tiga ekosistem ini bersama-sama terdapat di sekitar pesisir. Untuk itu penting bagi ketiga ekosistem ini untuk dilestarikan dan dijaga secara sinergis sehingga terhindar dari kerusakan.

Komposisi dan Struktur Komunitas Perifiton pada Akar Rhizophora mucronata Lamk dan Avicennia marina (Forsk) Vierh. di Vegetasi mangrove Muara Sungai T

Perifiton mempunyai peranan penting dalam jaring-jaring makanan di komunitas mangrove. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur komunitas perifiton yang menempel pada perakarannya di ekosistem mangrove Muara Sungai Tapak, Semarang.

Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari-April 2006 di kawasan mangrove Muara Sungai Tapak, Semarang. Materi dalam penelitian ini adalah perifiton yang hidup menempel pada akar mangrove di Muara Sungai Tapak, Semarang. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif eksploratif. Metoda pengambilan sampel perifiton menggunakan survey contoh. Metode penentuan lokasi sampling menggunakan metode purposive sample. Parameter lingkungan yang diukur sebagai data pendukung meliputi ukuran butir dan kandungan bahan organik sedimen, kecerahan, kecepatan arus, suhu, salinitas, oksigen terlarut, pH, nitrat, fosfat dan silikat dari masing-masing titik sampling.

Hasil penelitian ditemukan 3 spesies mangrove yaitu Avicennia marina (Forsk) Vierh. , Rhizophora apiculata Blume dan Rhizophora mucronata Lamk . R. mucronata dan A. marina merupakan spesies yang ditemukan di semua stasiun. Jumlah genus yang ditemukan pada akar R. mucronata adalah 48 genus dari 6 kelas sedangkan pada akar A. marina 34 genus dari 5 kelas perifiton. Coscinodiscus dan nitzschia merupakan genus yang ditemukan di semua stasiun. Kepadatan total perifiton di perakaran R.mucronata pada tertinggi pada bulan Februari sebesar 4032 ind/cm2 dan terendah bulan April 1117 ind/cm2. Pada perakaran A. marina kepadatan total perifiton tertinggi pada bulan Februari sebesar 3802 ind/cm2 dan terendah pada bulan April 1086 ind/cm2.

Rata-rata Indeks Keanekaragaman (H’) tertinggi pada akar R. mucronata pada bulan Februari di Stasiun 1 pada akar bagian atas yaitu 2,95; sedangkan terendah juga pada bulan Februari di Stasiun 2 akar bagian atas yaitu 1,61. Stasiun 1 pada akar bagian atas di bulan Februari juga memiliki rata-rata Indeks Keseragaman (e) tertinggi yaitu 1,08; sedangkan terendah ditemukan pada bulan April Stasiun 3 pada akar bagian bawah yaitu 0,60. Rata-rata Indeks Dominasi (C) tertinggi pada bulan Februari ditemukan pada Stasiun 3 pada akar bagian atas yaitu 0,30; sedangkan terendah pada bulan Maret Stasiun 1 pada akar bagian bawah yaitu 0,11. Rata-rata Indeks Keanekaragaman (H’) tertinggi pada akar A. marina pada bulan Februari di Stasiun 2 pada akar bagian bawah yaitu 2,51; sedangkan terendah pada bulan Maret di Stasiun 2 pada akar bagian atas yaitu 1,56. Pada bulan April di Stasiun 2 pada akar bagian atas memiliki rata-rata Indeks Keseragaman (e) tertinggi yaitu 0,87; sedangkan terendah pada bulan April Stasiun 1 pada akar bagian bawah yaitu 0,60. Rata-rata Indeks Dominasi (C) tertinggi ditemukan pada bulan Februari di Stasiun 2 pada akar bagian bawah yaitu 0,39 sedangkan terendah ditemukan pada Stasiun 2 juga pada bulan Februari pada akar bagian atas yaitu 0,13.

Kata kunci: Struktur komunitas, Perifiton, Akar, Rhizophora mucronata, Avicennia marina

Kontak:
Aini Chairunnisa Amalia, S.Kel.
email: anis_amalia@yahoo.com
Posted in Mangrove, Perifiton Tagged: Akar, Avicennia marina, Perifiton, Rhizophora mucronata, struktur komunitas

Selasa, 14 Juli 2009

PEMANFAATAN WETLAND SEBAGAI MEDIA FITOREMEDIASI

PEMANFAATAN WETLAND SEBAGAI MEDIA FITOREMEDIASI
BAB I
PENDAHULUAN

Dewasa ini laju pembangunan semakin pesat, terutama di daerah perkotaan. Industri-industri yang berkembang selain memberikan dampak positif, juga menimbulkan dampak negatif, di antaranya pencemaran lingkungan dari limbah yang dihasilkan, baik berupa limbah organik maupun limbah anorganik seperti logam berat, dll. Sementara daerah resapan air sendiri semakin berkurang, karena banyaknya bangunan permanen seperti gedung-gedung bertingkat dan perumahan penduduk, sehingga menghalangi proses siklus alami air di dalam tanah, termasuk di dalamnya proses pengolahan limbah secara alami.
Dalam bidang pencemaran lingkungan, dikenal istilah Bioremediasi, yakni penggunaan mikroorganisme (bakteri / jamur) untuk mendekomposisi dan mendegradasi polutan menjadi unsur yang tidak berbahaya. Dalam bioremediasi terdapat beberapa metode remediasi, baik yang berbasis fisika kimia maupun berbasis ilmu lain. Dalam dua dekade terakhir penelitian, pengembangan dan penerapan metode remediasi berbasis tumbuhan mendapat perhatian luas di Amerika, Australia, dan Eropa. Metode remediasi yang dikenal sebagai fitoremediasi ini mengandalkan pada peranan tumbuhan untuk menyerap, mendegradasi, mentransformasi dan mengimobilisasi bahan pencemar, baik itu logam berat maupun senyawa organik. Mengingat akan kekayaan hayati tumbuhan Indonesia yang besar serta ditunjang oleh iklim yang hangat sepanjang tahun, tentunya sumbangan tumbuhan untuk mengendalikan pencemaran perlu dikaji dan akhirnya diterapkan bila teknologinya ternyata menguntungkan.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian
Phyto asal kata Yunani/greek phyton yang berarti tumbuhan/tanaman (plant), remediation asal kata Latin remediare (to remedy) yaitu memperbaiki/menyembuhkan atau membersihkan sesuatu. Jadi fitoremediasi (phytoremediation) merupakan suatu sistim dimana tanaman tertentu yang bekerjasama dengan micro-organisme dalam media (tanah, koral dan air) dapat mengubah zat kontaminan (pencemar/polutan) menjadi kurang atau tidak berbahaya bahkan menjadi bahan yang berguna secara ekonomi.
Fitoremediasi ini menggunakan tanaman hijau untuk membersihkan limbah/daerah yang terkontaminasi bahan yang berbahaya/beracun. Ide penggunaan tanaman pengakumulasi logam berat ini adalah untuk menghilangkan logam berat dan senyawa-senyawa lain yang diperkenalkan pertama pada tahun 1983, tetapi konsep ini sebenarnya telah diimplementasikan 300 tahun yang lalu pada pembuangan air limbah.
2.2. Wetland/ Lahan Basah
Salah satu dari fitoremediasi adalah metode wetland atau penggunaan lahan basah untuk untuk proses pembersihan logam berat atau senyawa-senyawa berbahaya menjadi tidak berbahaya. Metode wetland ini secara umum dibagi menjadi dua kategori,yaitu:
1.)Subsurface Flow Systems
Subsurface flow systems atau sistem aliran bawah tanah . Subsurface flow systems didesain untuk aliran bawah tanah melalui media permeabel, menjaga air diolah dibawah permukaan , selain itu menghindari berkembangnya bau dan gangguan masalah lainnya. Sistem ini juga sebagai root-zone systems, rock-reed-filters, dan vegetated submergedbed systems. Media yang digunakan bisanya tanah, pasir,gravel, dan pecahan batu/kerikil.
2.)Free Water Surface Systems
Sistem aliran permukaan dididesain untuk mensimulasikan lahan basah alami, dengan aliran air melewati permukaan tanah pada genangan yang dangkal. Vegetasi sering terdiri dari tanaman marsh, seperti cattail dan reeds.
Kedua tipe tersebut biasanya berada di lembah atau terusan baik secara alami terbentuk atau yang sengaja dibuat.
Wetland memiliki efisiensi penghilangan suspensi padat pada kolom air yang cukup besar. Materi-materi yang tersuspensi di kolom air dapat terdiri dari banyak macam kontaminan , seperti nutrien, logam berat, atau ikatan fisika atau kimia.
Salah satu cara yang digunakan adalah fitostabilisasi. Fitostabilisasi adalah penghentian kontaminan di tanah melalui absorpsi dan akumulasi oleh akar, adsorpsi ke dalam akar di daerah akar dari tanaman. Selain itu digunakan untuk menjaga migrasi/perpindahan kontaminan melalui angin,dan erosi air, dan dispersi tanah.
Fitostabilisasi terjadi melalui akumulasi kontaminan pada jaringan tanaman dan di tanah disekitar akar karena perubahan kimia dari kontaminan, yang menjadi tidak larut dan berhenti di komponen tanah.bahan kontaminan yang tidak dapat larut biasanya tidak berbahaya. Fitostabilisasi juga mengacu pada pembangunan/ pengembangan tanaman penutup pada permukaan air dari tanah atau sedimen yang terkontaminasi




















Keuntungan:
1.)Mengurangi pergerasiko dari bahan kontaminan anorganik tanpa menghilangkan bahan tersebut dari lokasi mereka.
2.)Jika dibandingkan teknik lain seperti Excavation atau penggalian, yang teknik ini lebih murah
3.)Menambah kesuburan tanah



2.3. Manfaat dan Fungsi Wetland
Wetland memiliki berbagai fungsi dan kegunaan yaitu
1.)Organic Carbon (BOD) Removal
2.)Nitrogen Removal
3.)Phosphorus Removal
4.)Trace Metals Removal
5.)Removal of Toxic Organic Compounds
Fungsi ekologi
1.)Tempat makan dan habitat kehidupan liar
2.)Peningkatan kualitas air
3.)Perlindungan terhadap banjir
4.)Kontrol abration garis pantai
5.)Untuk rekreasi
Kelemahan
Akibat bahan kontaminan yang tertinggal di tempat, tempat/daerah tersebut harus terus dimonitoring untuk memastikan kondisi kestabilan kondisi lingkungan.
Jika bahan konsentrasi pencemar meningkat, efek racun dapat menghambat pertumbuhan tanaman tersebut
Jika menggunakan aditif/penyubur tanah, maka harus diterapkan secara periodik untuk menjaga kefektifan dari proses fitoremediasi
2.3. Cara Kerja
Proses dalam sistim ini berlangsung secara alami dengan enam tahap proses secara serial yang dilakukan tumbuhan terhadap zat kontaminan/pencemar yang berada disekitarnya
1.Phytoacumulation (phytoextraction) yaitu proses tumbuhan menarik zat kontaminan dari media sehingga berakumulasi disekitar akar tumbuhan, proses ini disebut juga Hyperacumulation
2.Rhizofiltration (rhizo= akar) adalah proses adsorpsi atau pengendapan zat kontaminan oleh akar untuk menempel pada akar. Proses ini telah dibuktikan dengan percobaan menanam bunga matahari pada kolam mengandung zat radio aktif di Chernobyl Ukraina.
3.Phytostabilization yaitu penempelan zat-zat contaminan tertentu pada akar yang tidak mungkin terserap kedalam batang tumbuhan. Zat-zat tersebut menempel erat (stabil ) pada akar sehingga tidak akan terbawa oleh aliran air dalam media.
4.Rhyzodegradetion disebut juga enhenced rhezosphere biodegradation, or plented-assisted bioremidiation degradation, yaitu penguraian zat-zat kontaminan oleh aktivitas microba yang berada disekitar akar tumbuhan. Misalnya ragi, fungi dan bakteri.
5.Phytodegradation (phyto transformation) yaitu proses yang dilakukan tumbuhan untuk menguraikan zat kontaminan yang mempunyai rantai molekul yang kompleks menjadi bahan yang tidak berbahaya dengan dengan susunan molekul yang lebih sederhana yang dapat berguna bagi pertumbuhan tumbuhan itu sendiri. Proses ini dapat berlangsung pada daun, batang, akar atau di luar sekitar akar dengan bantuan enzym yang dikeluarkan oleh tumbuhan itu sendiri. Beberapa tumbuhan mengeluarkan enzym berupa bahan kimia yang mempercepat proses degradasi.
6.Phytovolatization yaitu proses menarik dan transpirasi zat contaminan oleh tumbuhan dalam bentuk yang telah menjadi larutan terurai sebagai bahan yang tidak berbahaya lagi untuk selanjutnya di uapkan ke atmosfir. Beberapa tumbuhan dapat menguapkan air 200 sampai dengan 1000 liter perhari untuk setiap batang.
Jenis tanaman yang digunakan di fitoremidiasi:
Jenis-jenis tanaman yang sering digunakan di Fitoremediasi adalah; Anturium Merah/Kuning, Alamanda Kuning/Ungu, Akar Wangi, Bambu Air, Cana Presiden Merah/Kuning/Putih, Dahlia, Dracenia Merah/Hijau, Heleconia Kuning/Merah, Jaka, Keladi Loreng/Sente/Hitam, Kenyeri Merah/Putih, Lotus Kuning/Merah, Onje Merah, Pacing Merah/Putih, Padi-padian, Papirus, Pisang Mas, Ponaderia, Sempol Merah/Putih, Spider Lili, dan lain-lain.
2.2. Aplikasi di lapangan
Beberapa penerapan lapangan dengan konsepsi fitoremediasi ini yang cukup berhasil diantaranya adalah:
1.Menghilangkan logam berat yang mencemari tanah dan air tanah, seperti yang dilakukan di New Zealand, lokasi : Opotiki, Bay of Plenty. Membersihkan tanah yang tercemar cadmium (Cd oleh penggunaan pesticida) dengan menanam pohon poplar.
2.Membersihkan tanah dan air tanah yang mengandung bahan peledak (TNT, RDX dan amunisi militer) di Tennese, USA, dengan menggunakan metode wetland yaitu kolam yang diberi media koral yang ditanami tumbuhan air dan kemudian dialirkan air yang tercemar bahan peledak tersebut.. Tumbuhan yang digunakan seperti: Sagopond (Potomogeton pectinatus), Water stargas (Hetrathera), Elodea (Elodea Canadensis) dan lain-lain.
3.Pengolahan limbah domestik dengan konsep fitoremediasi dengan metoda Wetland, seperti yang diterapkan di beberapa tempat di Bali dengan sebutan wastewater garden (WWG) atau terkenal dengan Taman Bali seperti yang terlihat di Kantor Camat Kuta, Sunrise School, dan Kantor Gubernur Bali. Wetland ini berupa kolam dari pasangan batu kemudian diisi media koral setinggi 80 cm yang ditanami tumbuhan air (Hydrophyte) selanjutnya dialirkan air limbah (grey water dan effluent dari septictank). Air harus dijaga berada pada ketinggian 7 cm atau 10 cm dibawah permukaan koral agar terhindar dari bau dan lalat/serangga lainnya.
Untuk menghindari kloging (mampet) pada lapisan koral maka air limbah sebelum masuk unit wetland ini harus dilewatkan unit pengendap partikel discret. Berdasarkan hasil test laboratorium terhadap influen dan effluen diperoleh hasil evaluasi kinerja unit tersebut, dengan effisiensi removal sebagai berikut: BOD 80 s/d 90 % , COD 86 s/d 96 %, TSS 75 s/d 95 %, Total N 50 s/d 70 %, Total P 70 s/d 90 %, Bakteri coliform 99 %. Terdapat 27 spesies tumbuhan yang digunakan untuk Taman Bali ini diantaranya Keladi, Pisang, Lotus, Cana, Dahlia, Akar Wangi, Bambu Air, Padi-padian, Papirus, Alamanda dan tanaman air lainnya.
Pemeliharaan sistim ini sangat kecil yang umumnya hanya menyiangi daun-daun tumbuhan yang layu/kering dengan demikian maintainance cost sangat rendah. Menurut penjelasan dari pihak Sunrise School Bali yang telah dua tahun menggunakan sistim ini belum pernah terjadi cloging pada lapisan koral dengan void ratio hanya 40 % untuk ukuran koral hanya 5mm s/d 10mm.
Pada dasarnya proses yang terjadi pada wetland ini sangat alami artinya microorganisme dan tanaman membentuk ecosystem sendiri untuk berhadapan dengan jenis polutan yang masuk, jadi tingkat adaptasi/akomodasi terhadap zat dan kadar pencemararan sangat baik, berbeda dengan misalnya fakultatif pond proses akan rusak (invalid) jika ada B 3 yang masuk atau jika beban pencemaran meningkat lebih dari 20 % akan terbentuk algae bloom.
Namun penerapan yang digunakan umumnya terbatas pada skala kecil yaitu untuk perkantoran, sekolah dan komunal sekala RW, hal ini terjadi karena luas lahan yang dibutuhkan perkapitanya lebih tinggi dibanding sistim konvensional umumnya. Meskipun dibandingkan dengan sistim stabilization pond kebutuhan lahan jauh lebih luas.
2.3. Konsep perencanaan Wetland
Beberapa ketentuan yang diperlukan untuk membuat sistim ini yaitu:
1.Unit wetland harus didahului dengan bak pengendap untuk menghindari cloging pada media koral oleh partikel-partikel besar.
2.Konstruksi berupa bak/kolam dari pasangan batu kedap air dengan kedalaman ± 1 m.
3.Kolam dilengkapi pipa inlet dan pipa berlubang untuk outlet.
4.Kolam diisi dengan media koral (batu pecah atau kerikil) diameter 5 mm s/d 10 mm. setinggi/setebal 80 cm.
5.Ditanami tumbuhan air dicampur beberapa jenis yang berjarak cukup rapat, dengan melubangi lapisan media koral sedalam 40 cm untuk dudukan tumbuhan.
6.Dialirkan air limbah setebal 70 cm dengan mengatur level (ketinggian) outlet yang memungkinkan media selalu tergenang air 10 cm dibawah permukaan koral.
7.Disain luas kolam berdasarkan Beban BOD yang masuk per hari dibagi dengan Loading rate pada umumnya. Untuk Amerika Utara = 32,10 kg BOD/Ha per hari. Untuk daerah tropis kira-kira = 40 kg BOD/Ha per hari.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
1.Fitoremediasi cukup effektif dan murah untuk menangani pencemaran terhadap lingkungan oleh logam berat dan B3 sehingga dapat digunakan untuk remediasi TPA dengan menanam tumbuhan pada lapisan penutup terahir TPA dan menggunakan sistim wetland bagi kolam leachit.
2.Sistim pengolahan limbah dengan wetland disarankan hanya untuk skala lingkungan maksimum 2000 orang dan perkantoran atau gedung-gedung sekolah karena kebutuhan lahannya cukup tinggi antara 1.25 m2/capita s/d 2.5 m2/capita dibanding fakultatif pond hanya 0.2 s/d 0.5 m2/capita atau hanya 1/5 dari kebutuhan wetland.
3.Biaya investasi pada metode Wetland sangat relatif terhadap ketersedian lahan, dengan demikian untuk skala kecil sangat ekonomis bila lahan dapat disediakan.
4.Untuk skala rumah tangga sistim metode Wetland ini dapat dianggap pengganti bidang resapan.

Potensi Centrocema pubescence, Calopogonium mucunoides, dan Micania cordata dalam Membersihkan Logam Kontaminan pada Limbah Penambangan Emas

Potensi Centrocema pubescence, Calopogonium mucunoides,
dan Micania cordata dalam Membersihkan Logam Kontaminan
pada Limbah Penambangan Emas

BAB I
PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan logam berbahaya, pestisida, dan senyawa organik tertentu di dalam tanah dan air, terutama di kota besar dan kawasan industri, telah melampaui ambang batas dan cenderung menuju ke tingkat membahayakan. Oleh karena itu, dipacu oleh akibat kebocoran reaktor nuklir di Chernobyl – Rusia pada tahun 1986, beberapa peneliti Amerika dan Ukraina telah melakukan penelitian terhadap kemampuan tanaman jenis Indian mustard untuk meminimalkan kandungan unsur cesium dan stronsium dalam tanah yang telah terpapar oleh senyawa radioaktif. Sedangkan di Iowa – AS, para peneliti mencoba pohon poplar untuk menurunkan kandungan senyawa pestisida jenis atrazine yang terpapar di dalam tanah dan air tanah.
Penghilangan senyawa atrazine serta unsur radioaktif sangat penting karena kedua jenis senyawa itu merupakan senyawa karsinogenik. Beberapa tahun yang lampau beberapa peneliti Indonesia juga melakukan penelitian dan pengukuran daya penurun kandungan logam berat dan unsur radioaktif dengan menggunakan tanaman enceng gondok. Tiga penelitian di atas adalah contoh pengolahan limbah berbahaya menggunakan teknologi fitoremediasi. Fitoremediasi didefinisikan sebagai teknologi pembersihan, penghilangan atau pengurangan polutan berbahaya, seperti logam berat, pestisida, dan senyawa organik beracun dalam tanah atau air dengan menggunakan bantuan tanaman.

1.2Rumusan Masalah
Serangkaian penelitian juga dilakukan baik secara in situ maupun ex situ dengan tujuan memperoleh jenis tumbuhan potensial untuk fitoremidiasi lahan dan perairan yang tercemar limbah pengolahan emas. Diawali dengan skrining jenis tumbuhan yang toleran dari lokasi pembuangan limbah penambangan emas rakyat dan penambangan emas berskala besar. Diikuti penelitian lanjutan untuk memilih jenis-jenis tumbuhan yang potensial sebagai tumbuhan hiperakumulator, yakni memiliki daya adaptasi dan toleransi yang tinggi, mampu memproduksi biomassa dan mengakumulasi logam berat pada jaringan tajuknya dalam jumlah relatif besar. Di antara jenis tumbuhan hasil skrining yang menunjukkan potensi tinggi dan perlu diteliti lebih lanjut adalah Centrocema pubescence, Calopogonium mucunoides, dan Micania cordata.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Fitoremediasi
Phyto asal kata Yunani/greek phyton yang berarti tumbuhan/tanaman (plant), remediation asal kata Latin remediare (to remedy) yaitu memperbaiki/ menyembuhkan atau membersihkan sesuatu. Jadi fitoremediasi (phytoremediation) merupakan suatu sistim dimana tanaman tertentu yang bekerjasama dengan micro-organisme dalam media (tanah, koral dan air) dapat mengubah zat kontaminan (pencemar/polutan) menjadi kurang atau tidak berbahaya bahkan menjadi bahan yang berguna secara ekonomi. Proses dalam sistim ini berlangsung secara alami dengan enam tahap proses secara serial yang dilakukan tumbuhan terhadap zat kontaminan/ pencemar yang berada disekitarnya
1.Phytoacumulation (phytoextraction) yaitu proses tumbuhan menarik zat kontaminan dari media sehingga berakumulasi disekitar akar tumbuhan, proses ini disebut juga Hyperacumulation
2.Rhizofiltration (rhizo= akar) adalah proses adsorpsi atau pengendapan zat kontaminan oleh akar untuk menempel pada akar. Proses ini telah dibuktikan dengan percobaan menanam bunga matahari pada kolam mengandung zat radio aktif di Chernobyl Ukraina.
3.Phytostabilization yaitu penempelan zat-zat contaminan tertentu pada akar yang tidak mungkin terserap kedalam batang tumbuhan. Zat-zat tersebut menempel erat (stabil ) pada akar sehingga tidak akan terbawa oleh aliran air dalam media.
4.Rhyzodegradetion disebut juga enhenced rhezosphere biodegradation, or plented-assisted bioremidiation degradation, yaitu penguraian zat-zat kontaminan oleh aktivitas microba yang berada disekitar akar tumbuhan. Misalnya ragi, fungi dan bacteri.
5.Phytodegradation (phyto transformation) yaitu proses yang dilakukan tumbuhan untuk menguraikan zat kontaminan yang mempunyai rantai molekul yang kompleks menjadi bahan yang tidak berbahaya dengan dengan susunan molekul yang lebih sederhana yang dapat berguna bagi pertumbuhan tumbuhan itu sendiri. Proses ini dapat berlangsung pada daun, batang, akar atau di luar sekitar akar dengan bantuan enzym yang dikeluarkan oleh tumbuhan itu sendiri. Beberapa tumbuhan mengeluarkan enzym berupa bahan kimia yang mempercepat proses degradasi.
6.Phytovolatization yaitu proses menarik dan transpirasi zat contaminan oleh tumbuhan dalam bentuk yang telah menjadi larutan terurai sebagai bahan yang tidak berbahaya lagi untuk selanjutnya di uapkan ke atmosfir. Beberapa tumbuhan dapat menguapkan air 200 sampai dengan 1000 liter perhari untuk setiap batang.
Teknologi ini mulai berkembang dan banyak digunakan karena memberikan banyak keuntungan. Teknologi ini potensial untuk diaplikasikan, aman untuk digunakan dan dengan dampak negatif relatif kecil, memberikan efek positif yang multiguna terhadap kebijakan pemerintah, komunitas masyarakat dan lingkungan, biaya relatif rendah, mampu mereduksi volume kontaminan, dan memberikan keuntungan langsung bagi kesehatan masyarakat.
Keuntungan paling besar dalam penggunaan fitoremediasi adalah biaya operasi lebih murah bila dibandingkan pengolahan konvensional lain seperti insinerasi, pencucian tanah berdasarkan sistem kimia dan energi yang dibutuhkan. Sebagai perbandingan, sistem pencucian logam membutuhkan biaya sekitar US$ 250/kubik yard sedangkan fitoremediasi hanya membutuhkan US$ 80/kubik yard.
Teknologi fitoremediasi dikembangkan berdasarkan kemampuan beberapa jenis tanaman dalam menyerap beberapa logam renik seperti seng (Zn) dan tembaga (Cu) dalam pertumbuhannya. Berdasarkan logam yang diperlukan untuk pertumbuhannya dikenal beberapa jenis tanaman yaitu serpentine (memerlukan tanah yang kaya akan unsur Ni, Cr, Mn, Mg, Co), seleniferous (memerlukan tanah yang kaya akan unsur Se), uraniferous (memerlukan tanah yang kaya akan unsur uranium), dan calamine (memerlukan tanah yang kaya akan unsur Zn dan Cd).
2.2 Tehnik Fitoremediasi Untuk Penanganan Logam Berat
Sejumlah tumbuhan terbukti dapat beradaptasi terhadap lingkungan marginal dan ekstrim seperti tanah limbah yang banyak terkontaminasi zat-zat beracun dan memiliki kualitas fisik, kimia maupun biologis sangat rendah. Di antara tumbuhan ini bahkan ada yang memiliki toleransi tinggi sehingga mampu menyerap dan mengakumulasi logam kontaminan di dalam jaringannya. Potensi ini sangat penting dan berguna untuk dimanfaatkan sebagai mediator pembersih tanah dan perairan yang tercemar.
Banyak penelitian membuktikan kemampuan tumbuhan sebagai hiperakumulator, misalnya hiperakumulator untuk seng (Zn) dan kadmium (Cd). Thalspi caerulescens mampu memproduksi biomassa hingga 5 metrik ton ha-1 dan mengakumulasi Zn hingga 125 kg ha-1 atau 20-40% dari berat keringnya (Salt, 2000; Li et al., 2000; Ebbs et al., 2000; Baker et al., 1994; Brown et al., 1995). Alyssum bertolonii dapat mengakumulasi nikel (Ni) (Salt, 2000; Reeves,1992). Reynourtria sachalinensis dan mikroalga Chlamydomonas sp. telah digunakan untuk remediasi lahan bekas instalasi senjata kimia yang terkontaminasi arsen (As) dengan kemampuan akumulasi > 2 g As kg-1 (Feller, 2000). Atriplex codonocarpa dapat menyerap hingga 12,2% Na (13,0 g Na per tanaman) dan A. linleyi dapat menyerap hingga 13,8% natrium (Na) atau 44,6 g Na per tanaman untuk fitoremidiasi tanah salin (Ishikawa et al., 2001).
Tanaman Lolium multiflorum, Holcus lanatus dan Agrotis castellana telah digunakan untuk fitostabilisasi bekas penambangan emas yang terkontaminasi As dan Zn (Vangronsveld et al., 2000). Dari penelitian yang dilakukan di lahan bekas penambangan emas ditemukan banyak jenis tumbuhan yang toleran terhadap limbah. Beberapa di antaranya bahkan menunjukkan kemampuan akumulasi logam yang tinggi pada jaringannya, misalnya Ipomoea sp. yang mampu menyerap plumbum (Pb) hingga 44,00 ppm, sianida (Cn) hingga 35,70 ppm dan Cd 1,4 ppm, serta Micania cordata yang mampu menyerap hingga 11,65 ppm Pb dan ,66 ppm Cn (Hidayati dan Saefudin, 2003; Juhaeti et al., 2005). Azolla yang tumbuh pada air limbah mengandung 94 ppm Pb; sedangkan genjer dan eceng gondok masing-masing mengandung 167 dan 196 ppm (Juhaeti dan Syarif, 2003).

2.3 Fioremediasi untuk Pengolahan Lahan yang Tercemar Limbah Pengolahan Emas
Percobaan yang pernah dilakukan merupakan riset penggalian potensi tumbuhan hiperakumulator untuk membersihkan kontaminan pada lahan dan perairan yang tercemar limbah penambangan emas. Percobaan ex situ ini dilakukan di rumah kaca Laboratorium Fisiologi Stres, Pusat Penelitian Biologi LIPI Bogor dengan kondisi rata-rata suhu udara + 30oC dan kelembaban + 88 %. Media limbah diambil dari limbah tailing dam PT. Aneka Tambang (Antam) dan penambangan emas rakyat Pongkor. Bahan tanaman dikoleksi dari lokasi pembuangan limbah tailing dam. Dari sekitar 20 jenis tanaman koleksi dipilih tiga jenis cover crop yang dominan pada areal penimbunan limbah dan diharapkan merupakan jenis yang potensial untuk tujuan membersihkan logam berat pencemar pada lahan bekas penambangan. Jenis tumbuhan yang digunakan adalah Centrocema pubescence (T1), Calopogonium mucunoides (T2), dan Micania cordata (T3) yang ditanam pada dua jenis limbah penambangan yakni limah tailing (L1) dan limbah penambangan emas rakyat (L2).
Limbah penambangan emas rakyat dan penambangan emas skala besar memiliki karakteristik yang berbeda.

Gambar 1. Pertumbuhan daun tiga jenis tanaman pada dua jenis limbah. Keterangan: T1: C. pubescence, T2: C. mucunoides, T3: M. cordata, L1: Limbah tailing dam, L2: Limbah penambangan emas rakyat.
Komposisi bahan kontaminan limbah penambangan emas PT. Aneka Tambang dan penambangan rakyat berbeda terutama pada kandungan Hg dan Cn. Limbah PT. Aneka Tambang mengandung Cn relatif lebih tinggi dan Hg rendah. Limbah penambangan emas rakyat sebaliknya mengandung Hg sangat tinggi hingga 21,66 ppm dan Cn rendah (Tabel 1). Hal ini disebabkan karena dalam proses pengolahan emas digunakan bahan yang berbeda, yakni Cn pada PT. Aneka Tambang dan Hg pada penambangan emas rakyat. Kandungan logam berat lainnya (Pb, Fe, Cd dan Zn) pada kedua limbah penambangan sama tingginya jauh melebihi kandungan logam berat tanah non limbah. Limbah PT. Aneka Tambang dan penambangan emas rakyat masing-masing mengandung 20 dan 30 kali (Pb); 50 dan 120 kali (Fe); 40 kali (Cd) dan 2 dan 3 kali (Zn) dibandingkan tanah non limbah. Disamping perbedaan dalam komposisi kimia dari kontaminan, limbah tailing dan limbah penambangan emas rakyat juga memiliki perbedaan dalam sifat-sifat fisiknya. Limbah tailing cenderung bertekstur pasir sementara limbah penambangan emas rakyat lebih bertekstur liat dengan porositas yang rendah.
Tabel 1. Perbandingan kandungan logam berat limbah pengolahan emas milik PT. Aneka Tambang dan penambangan emas rakyat Pongkor.
Jenis limbah
PT. Aneka Tambang
Penambangan emas rakyat Pongkor
Cn
Hg
Cn
Hg
Tanah
0,155
0,293
0,022
239,38
Air 1
0,999
0,022
0,013
5,067
Air 2
0,121
0,023
0,011
20,574
Air 3
0,006
0,070
0,005
21,645

Perbedaan karakter limbah ini mengakibatkan perbedaan respon dan performa tanaman. Pada awal masa pertumbuhan, ketiga jenis tanaman mampu tumbuh pada kedua jenis limbah dengan cukup baik. Setelah lebih dari satu bulan laju pertumbuhan menurun sesuai dengan kemampuan dan karakter masing-masing jenis. Pada limbah penambangan emas rakyat pertumbuhan ketiga jenis tanaman lebih baik dibandingkan pada limbah tailing.
Di antara ketiga jenis tanaman, C. pubescence (T1) menunjukkan daya adaptasi dan pertumbuhan paling baik diikui oleh M. cordata (T3). Sementara C. mucunoides (T2) tidak dapat bertahan hidup setelah bulan ketiga (Gambar 1 dan 2). Laju pertumbuhan dan produksi biomassa ketiga jenis tanaman sangat rendah pada kedua media limbah. Walaupun demikian dua jenis tanaman yakni T1 dan T3 masih menunjukkan pertumbuhan dan produksi biomassa yang cukup baik pada media limbah.

Gambar 2. Pertumbuhan cabang tiga jenis tanaman pada dua jenis limbah. Keterangan: T1: C. pubescence, T2: C. mucunoides, T3: M. cordata L1: Limbah tailing dam, L2: Limbah penambangan emas rakyat.

Gambar 3. Produksi biomassa ketiga jenis tanaman pada dua jenis media limbah (berat kering dalam gram). Keterangan: T1: C. pubescence,T2: C. mucunoides, T3: M. Cordata, L1: Limbah tailing dam, L2: Limbah penambangan emas rakyat.



Tabel 2. Serapan logam ketiga jenis tanaman pada dua jenis limbah.


C. pubescence termasuk jenis yang dapat beradaptasi dengan baik pada media limbah sebagaimana ditunjukkan oleh produksi biomassa paling tinggi dibandingkan kedua jenis lain (Gambar 3), tetapi dalam penyerapan logam tidak superior karena C. mucunoides dan M. cordata terbukti menyerap logam dalam jumlah lebih besar. Dibandingkan dengan kedua jenis tanaman lainnya, C. mucunoides menunjukkan pertumbuhan yang paling lambat dengan produksi biomassa paling rendah. Walaupun demikian tanaman ini menunjukkan kemampuan penyerapan logam berat yang paling tinggi untuk Cn dan Hg (Tabel 2). Seperti dikemukakan Salt (2000), tidak mudah memperoleh semua sifat hiperakumulator sekaligus dalam satu jenis tanaman. M. cordata walaupun bukan jenis yang memproduksi biomassa paling tinggi tetapi termasuk jenis yang dapat beradaptasi pada kedua jenis limbah. Kenyataan ini juga ditunjang oleh data dari penelitian yang menyimpulkan bahwa tanaman ini merupakan jenis yang dominan di lahan bekas penambangan emas (Sambas, 2002). Serapan logam M. cordata yang ditanam pada L1 terbukti lebih besar dibandingkan pada L2.
Salah satu kemungkinan penyebab perbedaan ini adalah pertumbuhan akar tanaman pada L1 yang bertekstur pasir lebih banyak dibandingkan perakaran pada L2 yang lebih bertekstur liat. Pada C. pubescence ada indikasi bahwa akumulasi Cn lebih banyak pada daun, sedangkan Pb dan Hg lebih banyak pada akar. Hal ini sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan pada pemilihan tumbuhan hiperakumulator, yakni akumulasi logam berat pada tajuk yang jauh lebih tinggi dibandingkan akumulasi pada akar agar logam berat dapat terambil dengan mudah bersama tajuk tanaman pada saat pemanenan. Pertumbuhan ketiga jenis tanaman pada kedua jenis media limbah memang lebih rendah dibandingkan dengan media non lombah, tetapi hasil riset menyimpulkan bahwa ada harapan bagi jenis-jenis tanaman tertentu untuk dijadikan mediator rehabilitasi lahan bekas penambangan apabila disertai dengan perlakuan perbaikan kualitas media tumbuh seperti pemupukan organik, manipulasi pH, aplikasi jasad renik, dan lain-lain.

BAB III
KESIMPULAN
Fitoremediasi banyak dikembangkan, karena teknologi ini banyak memberikan keuntungan. Teknologi ini potensial untuk diaplikasikan, aman untuk digunakan dan dengan dampak negatif relatif kecil, memberikan efek positif yang multiguna terhadap kebijakan pemerintah, komunitas masyarakat dan lingkungan, biaya relatif rendah, mampu mereduksi volume kontaminan, dan memberikan keuntungan langsung bagi kesehatan masyarakat.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa beberapa tanaman memiliki kemampuan untuk tumbuh pada media limbah pengolahan emas yang memiliki karakteristik fisik dan kimia marjinal. Tanaman yang toleran pada media limbah menunjukkan penyerapan logam berat yang lebih tinggi, tetapi tingginya penyerapan logam tidak selalu berkorelasi positif dengan produksi biomassa. M. cordata dan C. mucunoides mampu menyerap logam dengan konsentrasi tinggi walaupun produksi biomassanya tidak terlalu tinggi, sebaliknya C. pubescence mampu memproduksi biomassa lebih tinggi pada limbah yang terkontaminasi logam berat, tetapi kemampuan menyerap logam berat lebih rendah dibandingkan M. cordata dan C. mucunoides

DAFTAR PUSTAKA

Ebbs, S., L. Kochian, M. Lasat, N. Pence, and T. Jiang. 2000. An integrated investigation of the phytoremediation of heavy metal and radionuclide contaminated soils: From laboratory to the field. In: Wise, D.L., D.J. Trantolo, E.J. Cichon, H.I. Inyang, and U. Stottmeister (eds.).Bioremediation of Cotaminated Soils. New York: Marcell Dekker Inc.

Feller, A.K. 2000. Phytoremediation of soils and waters contaminated with arsenicals from former chemical warfare installations. In: Wise, D.L., D.J. Trantolo, E.J. Cichon, H.I. Inyang, and U. Stottmeister (eds.). Bioremediation of Cotaminated Soils. New York: Marcell Dekker Inc.

Hidayati, N. dan Saefudin. 2003. Potensi Hipertoleransi dan Serapan Logam Beberapa Jenis Tumbuhan pada Limbah Pengolahan Emas. [Laporan Teknik]. Bogor: Pusat Penelitian Biologi LIPI.

Hidayati, N., T. Juhaeti dan F. Syarif. 2004. Karakterisasi Limbah dan Vegetasi yang Tumbuh pada Penambangan Emas Rakyat dan Penambangan Berskala Besar di Pongkor. [Laporan Teknik]. Bogor: Pusat Penelitian Biologi LIPI.


Juhaeti, T., F. Syarif dan N. Hidayati. 2005. Inventarisasi tumbuhan potensial untuk fitoremidiasi lahan dan air terdegradasi penambangan emas. Biodiversitas 6 (1): 31-33.

Salt, D.E. 2000. Phytoextraction: Present applications and future promise. In: Wise, D.L., D.J. Trantolo, E.J. Cichon, H.I. Inyang, and U. Stottmeister (eds.). Bioremediation of Cotaminated Soils. New York: Marcell Dekker Inc.

Sambas, E.N. 2002. Analisis Vegetasi Tumbuhan Bawah pada Areal Tailing Dam PT. Aneka Tambang (Antam) Pongkor. [Laporan Teknik]. Bogor: Pusat Penelitian Biologi LIPI.











STABILISASI LAHAN DAN FITOREMEDIASI DENGAN VETIVER SYSTEM

STABILISASI LAHAN DAN FITOREMEDIASI DENGAN VETIVER SYSTEM

BAB I
PENDAHULUAN

Fitoremediasi merupakan salah satu teknologi yang bersifat biologi, yaitu pemanfaatan jasa tumbuhan hijau dan ataupun mikroorganisme yang berasosiasi, untuk mengurangi polutan lingkungan, baik pada air, tanah, maupun udara, baik yang disebabkan oleh polutan metal maupun organik (Firdaus, 2003). Fitoremediasi adalah penggunaan tumbuhan untuk menghilangkan polutan dari tanah atau perairan yang terkontaminasi. Akhir-akhir ini teknik stabilisasi lahan dan fitoremediasi mengalami perkembangan pesat, salah satunya dengan Vetiver Grass Technology (VGT) atau Vetiver System (VS).
Vetiver, yang di Indonesia dikenal sebagai akar wangi (Vetiveria zizanioides) atau usar (Vetiver nigritana), adalah sejenis rumput-rumputan berukuran besar yang memiliki banyak keistimewaan. Di Indonesia rumput ajaib ini baru dimanfaatkan sebagai penghasil minyak atsiri melalui ekstraksi akar wangi, tetapi di mancanegara vetiver banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan ekologis dan fitoremediasi (memperbaiki lingkungan dengan menggunakan tanaman) lahan dan air seperti rehabilitasi lahan bekas pertambangan, pencegah erosi lereng, penahan aberasi pantai, stabilisasi tebing, dan sebagainya melalui teknologi yang disebut Vetiver Grass Technology (VGT) atau Vetiver System (VS), sebuah teknologi yang sudah dikembangkan selama lebih dari 200 tahun di India.

BAB II
PEMBAHASAN

Menurut Salt et al.(1998) Fitoremediasi adalah pemanfaatan tumbuhan, mikroorganisme untuk meminimalisasi dan mendetoksifkasi polutan, karena tanaman mempunyai kemampuan menyerap logam dan mineral yang tinggi atau sebagai fitoakumulator dan fitochelator. Konsep pemanfaatan tumbuhan dan mikroorganisme untuk meremediasi tanah yang terkontaminasi polutan adalah pengembangan terbaru dalam teknik pengolahan limbah. Fitoremediasi dapat diaplikasikan pada limbah organik maupun anorganik dalam bentuk padat, cair, dan gas.
Vetiver System adalah sebuah teknologi sederhana berbiaya murah yang memanfaatkan tanaman vetiver hidup untuk konservasi tanah dan air serta perlindungan lingkungan. VS sangat praktis, tidak mahal, mudah dipelihara, dan sangat efektif dalam mengontrol erosi dan sedimentasi tanah, konservasi air, serta stabilisasi dan rehabilitasi lahan. Vetiver juga mudah dikendalikan karena tidak menghasilkan bunga dan biji yang dapat cepat menyebar liar seperti alang-alang atau rerumputan lainnya.
Keajaiban vetiver sebagai tanaman ekologis disebabkan oleh sistem perakarannya yang unik. Tanaman ini memiliki akar serabut yang masuk sangat jauh ke dalam tanah (saat ini rekor akar vetiver terpanjang adalah 5.2 meter yang ditemukan di Doi Tung, Thailand).
Akar vetiver diketahui mampu menembus lapisan setebal 15 cm yang sangat keras. Di lereng-lereng yang keras dan berbatu, ujung-ujung akar vetiver mampu masuk menembus dan menjadi semacam jangkar yang kuat. Cara kerja akar ini seperti besi kolom yang masuk ke dalam menembus lapisan tekstur tanah, dan pada saat yang sama menahan partikel-partikel tanah dengan akar serabutnya. Kondisi ini bisa mencegah erosi yang disebabkan oleh angin dan air sehingga vetiver dijuluki sebagai ‘kolom hidup’.
Keajaiban vetiver lainnya adalah daya adaptasi pertumbuhannya yang sangat luas. Tanaman ini dapat tumbuh baik di lingkungan yang tidak menguntungkan termasuk pada lahan berat yang : (1) masam, mengandung mangan dan alumunium; (2) bersalinitas tinggi dan mengandung banyak natrium; (3) mengandung logam berat seperti Ar, Cd, Co, Cr, Pb, Hg, Ni, Se, dan Zn.
2.1Cara Vetiver Bekerja
Vetiver si “kolom hidup”
Inilah yang terjadi jika vetiver ditanam di lereng miring,
1.Vetiver menahan laju air run-off dan material erosi yang terbawa dengan tubuhnya.

Proses itu secara detail dapat dilihat pada gambar dan keterangan berikut,
Daun dan batang vetiver memperlambat aliran endapan yang terbawa run-off di titik A sehingga tertumpuk di titik B. Air terus mengalir menuruni lereng C yang lebih rendah. Akar tanaman (D) mengikat tanah di bawah tanaman hingga kedalaman 3 meter. Dengan membentuk “tiang” yang rapat dan dalam di dalam tanah, akar-akar ini mencegah terjadinya erosi dan longsor.

2.Vetiver akan efektif jika ditanam dalam barisan membentuk pagar. Ilustrasi barisan vetiver yang ditanam pada lereng akan tampak seperti gambar di bawah,

Akar-akar vetiver yang masuk ke dalam tanah sedalam ± 3 meter akan berfungsi seperti kolom-kolom beton yang menahan tanah agar tidak longsor sehingga tanah menjadi stabil. Barisan itu juga menahan material erosi di belakang tubuhnya yang dapat mengurangi kecuraman dan akhirnya membentuk teras-teras yang lebih landai.
Vetiver Penyerap Logam Berat
Vetiver memiliki kemampuan untuk menyerap logam berat dari dalam tanah melalui akarnya. Bahan-bahan itu kemudian dikonversi dan diangkut ke seluruh tubuhnya tanpa menyebabkan kerugian pertumbuhan. Itulah sebabnya vetiver banyak digunakan untuk menyerap logam berat dan bahan-bahan lain yang merugikan dan terdapat di dalam tanah atau air, termasuk air lindi dan septic tank.
2.2Vetiver System Di Mancanegara
Vietnam
Perbandingan tebing yang ditanami vetiver dan tidak







Perlindungan pantai yang memiliki gelombang besar


Stabilisasi bukit pasir di pantai

Malaysia
Perbaikan tebing jalan bebas hambatan










Indonesia
Bali - Vetiver digunakan untuk menstabilkan lereng gunung berapi yang curam dan anak-anak sekolah diajari bertani organik di antara tanaman vetiver











Kebun vetiver di Jawa Barat Vetiver ditanam untuk ekstrak minyak atsiri








2.3Rencana Penggunaan Vetiver Di Hutan Kota Eks-Tpa Pasir Impun Bandung
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Pasir Impun seluas 5 ha terakhir kali dioperasionalkan pada tahun 2005 sebagai TPA Darurat Sampah Kota Bandung. Di tempat ini dilakukan pembuangan sampah dengan teknik sanitary landfill. Tumpukan sampah yang telah mencapai ketinggian 2.5 m dipadatkan dan ditutup dengan lapisan tanah setebal 10 cm. Di atasnya ditumpuk lagi sampah, dst.
Dengan topografi berbukit seperti gambar di samping, lokasi ini memiliki 2 masalah, yaitu : (1) lahan yang tidak stabil, dan (2) aliran dan rembesan lindi (leachate) yang mencemari air penduduk di sekitarnya.
Pemecahan yang dilakukan adalah: (1) menanam barisan vetiver di lereng dengan mengikuti garis kontur, interval antarbaris 3 meter, (2) menanam 5 baris vetiver dengan interval 1 meter di lokasi yang berbatasan dengan perumahan penduduk.

BAB III
KESIMPULAN

Fitoremediasi merupakan salah satu teknologi yang bersifat biologi, yaitu pemanfaatan jasa tumbuhan hijau dan ataupun mikroorganisme yang berasosiasi, untuk mengurangi polutan lingkungan, baik pada air, tanah, maupun udara, baik yang disebabkan oleh polutan metal maupun organik (Firdaus, 2003). Fitoremediasi adalah penggunaan tumbuhan untuk menghilangkan polutan dari tanah atau perairan yang terkontaminasi.
Vetiver System adalah sebuah teknologi sederhana berbiaya murah yang memanfaatkan tanaman vetiver hidup untuk konservasi tanah dan air serta perlindungan lingkungan. VS sangat praktis, tidak mahal, mudah dipelihara, dan sangat efektif dalam mengontrol erosi dan sedimentasi tanah, konservasi air, serta stabilisasi dan rehabilitasi lahan.
Vetiver dapat tumbuh baik di lingkungan yang tidak menguntungkan termasuk pada lahan berat yang : (1) masam, mengandung mangan dan alumunium; (2) bersalinitas tinggi dan mengandung banyak natrium; (3) mengandung logam berat seperti Ar, Cd, Co, Cr, Pb, Hg, Ni, Se, dan Zn.
Cara Vetiver Bekerja pada lahan miring adalah Vetiver menahan laju air run-off dan material erosi yang terbawa dengan tubuhnya.
Vetiver memiliki kemampuan untuk menyerap logam berat dari dalam tanah melalui akarnya. Bahan-bahan itu kemudian dikonversi dan diangkut ke seluruh tubuhnya tanpa menyebabkan kerugian pertumbuhan
Pemanfaatan Vetiver di manca negara:
Perlindungan pantai yang memiliki gelombang besar
Stabilisasi bukit pasir di pantai
Vetiver digunakan untuk menstabilkan lereng gunung berapi yang curam dan anak-anak sekolah diajari bertani organik di antara tanaman vetiver
Kebun vetiver di Jawa Barat Vetiver ditanam untuk ekstrak minyak atsiri
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Pasir Impun digunakan sebagai TPA Darurat Sampah Kota Bandung memiliki 2 masalah, yaitu : (1) lahan yang tidak stabil, dan (2) aliran dan rembesan lindi (leachate) yang mencemari air penduduk di sekitarnya.
Pemecahan yang dilakukan adalah: (1) menanam barisan vetiver di lereng dengan mengikuti garis kontur, interval antarbaris 3 meter, (2) menanam 5 baris vetiver dengan interval 1 meter di lokasi yang berbatasan dengan perumahan penduduk.

DAFTAR PUSTAKA
Juhaeti, Titi., et al. 2005. Inventarisasi Tumbuhan Potensial Untuk Fitoremediasi Lahan dan Air Terdegradasi Penambangan Emas. Diakses dari www.unsjournals.com/d/d0601/d0601pdf/d060106. pdf------emasPustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/04/ fitoremediasi_imbah_cair_dengan_eceng_gondok_dan_limbah_padat_industri.pdf. pukul 17 April 2009. Pukul 06.17 wib.
Wijayakusuma, Rully. 2007. Stabilisasi Lahan dan Fitoremediasi Dengan Vetiver System. Diakses dari www.rotaryd3400.org/ Reforestation/Vetiver%20System.doc. Pada tanggal 18 April 2009. pukul 00.08 WIB